Kamis, 31 Desember 2009

Jembatan Besi Gedangsari


Selama ini jika kita akan menuju ibu kota kecamatan Gedangsari dari arah Sambitpiu kita harus melewati jembatan dan tanjakan Besi yang terkenal sempit, tajam, curam. sehingga rawan terhadap kecelakaan. Namun dengan selesainya pembangunan Jembatan Besi kesulitan ini sudah tidak kita alami lagi, karena sudah dibangun jembatan layang sepanjang 87 meter dengan lebar 15 meter. Adanya jembatan layang, maka akses transportasi dari ibu kota kecamatan Gedangsari ke Ngalang dan Sambipitu sudah lancar. Utamanya kendaraan roda empat dari arah Sambipitu-Ngalang ke Gedangsari sudah tidak mengalami hambatan lagi. Dulu sebelum dibangun jembatan ini kendaraan pengangkut bahan material menuju ibu kota kecamatan Gedangsari harus melangsir muatannya sehingga harus diangkut dua atau tiga kali untuk sampai tujuan. Demikian pula kendaraan roda empat yang mengangkut orang untuk melewati tanjakan besi penumpangnya harus diturunkan terlebih dahulu kemudian baru naik lagi setelah berjalan menaiki tanjakan. Namun hal itu sekarang sudah tidak dialami lagi karena jembatan Besi sudah dapat difungsikan untuk arus transportasi baik roda dua atau kendaraan roda empat bahkan kendaraan truk pengangkut.

Keberadaan jembatan ini selain memperlancar arus transportasi juga merupakan daya tarik tersendiri. Pada hari-hari libur banyak wisatawan lokal yang berdatangan. Lebih-lebih bagi pemudik yang sedang pulang ke kampung halaman jika melewati jembatan ini akan berhenti sebentar untuk menikmati pemandangan panorama alam yang begitu indah. Karena dari atas jembatan ini kita bisa memandang ke arah Timur dan Selatan akan tampak hamparan persawahan yang menghijau dengan tanaman padinya. Sedang jika kita menghadap ke arah Utara tampak dua Tower Seluler yang berdiri dengan megahnya dan jika kita menghadap kearah Barat, maka akan tampak aliran sungai serta pegunungan seribu yang membujur dengan indahnya.
Tak ketinggalan pula pada hari-hari tertentu banyak berdatangan para pelajar dari berbagai tempat seperti Nglipar, Wonosari dan tempat lainnya. Bahkan banyak pelajar dari luar daerah Gunungkidul yang datang ke lokasi ini seperti dari daerah Gantiwarno, Wedi dan Klaten untuk melihat pemandangan alam dan sekedar berfoto bersama dengan teman-temannya.

Sabtu, 19 Desember 2009

Mangga Malam Terancam Punah

Senin, 16 November 2009 | 19:44 WIB

GUNUNG KIDUL, KOMPAS.com - Upaya pematenan beberapa produk lokal ternyata belum mampu memberikan jaminan terhadap pelestariannya. Beberapa produk lokal khas Gunung Kidul yang telah dipatenkan seperti mangga malam dan padi tadah hujan jenis Mendel serta segreng justru kian ditinggalkan sehingga terancam punah.

Penduduk di wilayah Desa Watugajah, Gedangsari, Gunung Kidul yang dulunya menanam mangga lokal jenis mangga malam, misalnya, kini mulai beralih menanam mangga pasaran seperti jenis manalagi, harum manis, atau gadung. Regenerasi mangga malam juga terkendala sulitnya pencangkokan sehingga harus ditanam menggunakan biji Mangga malam setidaknya butuh minimal delapan tahun untuk berbuah, berbeda dengan mangga jenis manalagi yang hanya butuh tiga tahun.

Sekitar separuh dari populasi tanaman mangga malam yang ada saat ini pun telah mati karena terserang serangga kripik. “Jika tidak ingin mangga malam punah, harus ada solusi pemberantasan hama dari pemerintah,” ujar pemilik kebun mangga malam Adi Wiyoto, Senin (16/11).

Separuh dari 50 batang pohon mangga malam yang ditanam Adi Wiyoto di kebunnya kini telah mati akibat serangan serangga kripik. Serangga tersebut menggerogoti batang pohon hingga berongga dan mudah patah. Pohon mangga malam lebih rentan serangan serangga dibanding mangga jenis lain.

Petugas Penyuluh Lapangan dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Gunung Kidul sebenarnya sudah menyarankan pemberantasan hama serangga dengan meletakkan tulang binatang di bawah pohon sebagai penarik serangga. Namun, warga sulit mencari tulang dalam jumlah besar. Dibanding mangga jenis lain, mangga malam tergolong unggul pada rasa manis yang dominan. Mangga malam ini sebenarnya bisa menawarkan keberagaman rasa ketika pasar mangga hanya dibanjiri jenis tertentu seperti manalagi. Penampilan luar mangga malam pun cukup menarik dengan kulit buah berwarna kuning kemerahan.

Perhatian pemerintah terhadap pelestarian buah mangga malam dinilai semakin melemah. Pada tahun 1997, ibu-ibu PKK di Dusun Watugajah pernah difasilitasi pemerintah untuk studi banding perawatan buah mangga ke Surabaya, Jawa Timur. Kini, upaya serupa tidak pernah lagi dilakukan. Harga jual mangga malam pun cenderung murah, sekitar Rp 2.000 per kilogram. Padi tadah hujan jenis segreng dan Mendel yang telah dipatenkan pun kini juga semakin jarang ditaman oleh petani karena masa panennya yang lebih lama.